ARTIKEL


PEMIKIRAN ISLAM
 MUHAMMADIYAH
Oleh: Drs. Nurdin Hasan, M.Ag*
Para peneliti menyebutkan ada empat jenis pemikiran Islam Muhammadiyah, pertama; pemikiran yang dihasilkan dari permusyawaratan dan telah ditanfidzkan; kedua, pemikiran yang dihasilkan dari permusyawaratan tetapi belum ditanfidzkan; ketiga, pemikrian tokoh-tokoh Muhammadiyah; dan keempat, pemikiran aktivitis Ortom Muhammadiyah yang menggunakan nama besar Muhammadiyah, namun tidak ada hubungan organisotoris dengan Muhammadiyah. Pemikiran jenis pertama sifatnya mengikat, artinya harus ada ketundukan (sami’na wa atho’na) dari warga dan pimpinan Muhammadiyah terhadap keputusan tersebut. Kalaupun toh masih ada perbedaan pemikiran bukan berarti dapat mengubah keputusan yang ada. Secara organisatoris keputusan yang dihasilkan oleh permusyawaratan tertinggi dalam Muhammadiyah hanya dapat dibatalkan pemikiran dalam Muhammadiyah sangat dihargai, namun dalam etika berorganisasi, kalau sudah diputuskan semuanya dengan “legowo” harus menerima. Tingkat ketundukan terhadap pemikiran resmi Muhammadiyah masih dibingkai dengan daya kritis, maka sikap taklid tidak dibenarkan. Keputusan-keputusan yang dihasilkan dari Musyawarah Nasionla Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam itu pun masih bersifat terbuka untuk dikaji ulang kalau ditemukan dalil-dalil yang lebih rajih. Argumentasi dan dalil-dalil yang diterima oleh mayoritas (jumhur ulama tarjih) dijadikan pedoman untuk menjelaskan sikap penerimaan dari keputusan tersebut. Namun apabila pemikiran resmi itu belum dapat diterima oleh warga dan atau pimpinan Muhammadiyah, secara etika yang bersangkutan tidak boleh menyosialisasikan sikapnya itu. Beberapa contoh pemikiran resmi Muhammadiyah yang dihasilkan oleh Muktamar adalah Masalah Lima, Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, Kepribadian Muhammadiyah, dan Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih (HPT), Khittah PErjuangan Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIM), Dakwah Kultural Muhammadiyah.
Jenis pemikiran pertama ini dikatakan pemikiran resmi atau formal Muhammadiyah dalam memahami dan mengamalkan Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Sunnah al-Shahihah dengan menggunakan akal pikiran yang jernih. Tidak ada satu pun keputusan Muhammadiyah yang telah ditanfidzkan bertentangan dengan norma asasi Al-Qur’an dan Al-Sunnah, dan tanpa pemikiran yang mendalam.
Namun, akhir-akhir ini muncul fenomena baru dalam Muhammadiyah, di mana keputusan resmi persyarikatan menjadi controversial, seperti kasus Dakwah Kultural, ini lebih disebabkan oleh adanya pemaksaan untuk mengubah haluan dakwah Muhammadiyah selama ini bersifat purikatif kritis terhadap budaya lokal yang berbau TBC dan kemusyrikan, akan diubah menjadi dakwah yang akomodatif terhadap segala potensi budaya lokal, termasuk yang mengandung TBC dan kemusyrikan. KH. Ibnu Juraim, Wakil Ketua Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus PP Muhammadiyah, menengarai bahwa kontroversi itu sebagai akibat penyimpangan terhadap tradisi dan kepribadian Muhammadiyah yang selalu merujuk kepada dalil Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Kedua, pemikiran jenis ini sifatnya wacana, sehingga terbuka lebar untuk mendiskusikan samapai ditemukan rumusan yang dapat diterima. Karena sifatnya wacana, emmbutuhkan waktu yang cukup lama untuk samapai pada keputusan organisasi. Misalnya mengenai manhaj tarjih yang baru membutuhkan waktu tidak kurang dari 5 tahun, terhitung sejak musyawarah tarjih di Malang sampai di Padang tahun 2003, hingga saat ini belum dapat diterima secara utuh. Masing-masing wilayah masih terus memperbincangkan, mendiskusikan tentang tiga metode atau pendekatan yang diputuskan oleh Musyawarah Tarjih di Jakarta tahun 2000, yakni pendekatan bayani dan burhani sudah tidak menjadi masalah lagi, sementara pendekatan ‘irfani dimauqufkan karena masih terjadi perbedaan pendapat yang cukup tajam. Begitu juga rubric fatwa Agama dalam Suara Muhammadiyah, yang diasuh oleh Bagian Fatwa Majelis TArjih dan PEngembangan Pemikiran Islam (MT-PPI) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, itu bersifat wacana, karena bukan produk resmi yang dihasilkan dari Musyawarah Nasional (Munas) Tarjih. Itu pemikiran atau ijtihad beberapa orang saja, yang tingkat kebenarannya masih dapat dipertanyakan, terutama ketepatan menggunakan dasar/dalil ayat atau hadis, dan metode istimbath hukum yang digunakan untuk menjawab atau mengeluarkan fatwa keagamaan.
Ketiga, pemikiran tokoh-tokoh Muhammadiyah yang dilontarkan baik ditanya maupun tidak, dimuat di koran-koran atau   disampaikan di forum-forum ilmiah, itu sering juga dijadikan referensi untuk menganalisis Muhammadiyah, padahal ide, gagasan, pemikiran itu bersifat pribadi. Namun juga tidak dapat disalahkan kalau menghubungkan pendapat pribadi itu sebagai pendapat resmi Muhammadiyah, karena sulit membedakan antara pendapat pribadi dan pendapat yang mengatas namanakan Muhammadiyah. MIsalnya, pendapat pribadi Prof. Dr. A. Syafi’i Ma’arif sewaktu menanggapi komisi fatwa MUI bahwa bunga bank konvensional itu hukumnya haram, Ahmad Syafi’I Ma’arif menyatakan bahwa mengharamkan bunga bank konvensional itu tergesa-gesa. Pernyataan ini mendapat kritikan dari berbagai pihak yang dihubung-hubungkan dengan Muhammadiyah, seolah-olah Muhammadiyah menghalalkan bunga bank, padahal pendapat Muhammadiyah tentang bunga bank telah jelas sesuai dengan keputusan Majlis Tarjih dalam Muktamar Khsusus di Sidoarjo tahun 1968 yang belum pernah dicabut atau direvisi, sehingga sampai saat ini masih berlaku. Keputusan itu berisi empat point yaitu; (1) Riba hukumnya haram, dengan nash sharih Qur’an dan Sunnah; (2) Bank dengan system riba hukumnya haram dan Bank tanpa riba hukumnya halal; (3) Bunga yang diberikan oleh Bank-bank milik Negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara “musytabihat”; dan (4) Menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi system perekonomian khususnya lembaga perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam.
Keempat, jenis pemikiran yang disampaikan oleh warga Muhammadiyah atau aktivis Muhammadiyah dengan mengatasnamakan bahkan menggunakan bendera Muhammadiyah, misalnya oleh mereka yang mengatasnamakan JAringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), Forum Komunikasi KAder Muhammadiyah (FKKM), Jaringan  Akar Rumput Muhammadiyah (JARUM), dan lain sebagainya. Forum ini hanya sebagai wadah dalam mendiskusikan isu-sisu kontemporer yang berkembang dalam Muhammadiyah, dan melakukan kajian metodologis dalam memahami Islam. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau dalam Muhammadiyah “berseliweran” ragam pemikiran keagamaan yang sering berhadapan, misalnya tekstualis-kontekstualis, fundamentalis-liberalis, tradisionalis-modernis, salafi-kholafi, dan yang radikalis.
Pemikiran-pemikiran yang dikembangkan mendapatkan “support” sebagai tokoh Muhammadiyah. JIMM misalnya, memiliki tradisi berpikir sendiri didasarkan pada referensi yang digunakan. Namun, banyak yang menilai bahwa mereka telah keluar dari identitas dan khittah perjuangan Muhammadiyah. Sehingga, mereka ini perlu mendapatkan pelurusan pemikirannya dari tokoh-tokoh Muhammadiyah agar dalam perjalanan intelektualnya tidak keluar dari landasan normative dan operaional Muhammadiyah. Kecuali kalau mereka keluar dari Muhammadiyah, maka tida ada lagi hak dan kewajibannya untuk mematuhi landasan normatif dan operasional persyarikatan.
Dari keempat jenis pemikiran yang berkembang di atas, dalam tulisan ini akan diambil satu jenis pemikiran yakni pemikiran resmi atau formal Muhammadiyah dengan memfokuskan pada kepribadian Muhammadiyah. Mengapa kepribadian yang diambil? Alasan sederhana yang dapat dikemukakan, bahwa kepribadian ini sebagai jati diri Muhammadiyah, yang akhir-akhir ini jati diri itu dikaburkan dengan munculnya perkembangan baru dalam dunia politik dan pemahaman keagamaan. Lebih-lebih menjelang pemilihan presiden tahun 2004 yang lalu, ada kader terbaik Muhammadiyah mencalonkan sebagai presiden RI, dan banyak kader lain m encalonkan untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Untuk mendulang suara sebesar-besarnya mereka menggunakan nama Muhammadiyah dan jalur structural dan cultural dimanfaatkan. Penggalangan massa Muhammadiyah yang dikemas dalam pengajian akbar diselenggarakan di beberapa kota dengan menghadirkan tokoh yang memiliki kepentingan untuk menjadi presiden atau anggota DPD.